Selasa, 13 Desember 2016

Keluh Kesahku kepada Hujan

Hujan? Apa kabar? lama tak bersua. atau   mungkin aku yang tak menyadari kehadiranmu? Pernahkah Engkau merasa letih melakukan perjalanan mu yang jauh dari langit itu? Pernahkah kau mengeluh saat harus jatuh berulang-ulang? Apa kau pernah merasa bosan menjadi hujan? jika tidak, berarti kau berbeda dengan manusia.

Kami mengeluh saat Tuhan memberi kami cobaan, kami bosan saat harus terus mencoba, kami lelah saat harus jatuh berkali-kali. Kami menyerah saat sesuatu terlihat sulit bagi kami. Hujan? menurutmu, Tuhan bosan tidak dengan kami yang terkadang lupa bagaimana bersyukur? Tuhan kecewa tidak dengan kami yang suka ingkar? aku harap Tuhan tidak marah pada kami. Betapa Tuhan sayang pada kami. Bahkan, adanya Kau adalah wujud sayang Tuhan pada kami.

Bahkan seberapa banyak tetesan mu pun tak bisa mengimbangi sayang Tuhan pada kami kan?.Terkadang aku merasa Tuhan Ingin kami belajar untuk menerima akibat dari perilaku kami yang terkadang suka semena-mena. Kami lupa betapa kecilnya kami dibanding alam Semesta ini. 

Hujan? Pernahkah kau mengintip apa yang ada diatas Langit? Bisakah kau ceritakan padaku? Atau saat kau bertemu dengan Ozon, tidakkah mereka menceritakan padamu tentang apa yang ada di Alam semesta kita? Bagaimana Ozon melihat kami? Akankah kami terlihat kecil dimata mereka?

Hujan, menurutmu? Apakah Ozon marah pada kami karena telah merusak lapisannya? Akankah Ozon akan menyerah Melindungi bumi kami ? .Jika mereka menyerah bagaimana dengan kami? kami tak bisa membayangkan bagaimana bila mereka benar benar menyerah dan menghilang. maka kamipun akan punah.

Hujan, kau adalah saksi kami tentang apa yang kami lakukan kepada Bumi. Hujan. Masihkah ada kesempatan untuk kami untuk memperbaiki semuanya? Masihkah ada waktu untuk kami hujan?. Hujan, kumohon datanglah dan sirami jiwa kami yang penuh kegalauan, kebimbangan, dan kegersangan yang ada pada perasaan kami.

Hujan, Tolong katakan pada Tuhan bahwa kami malu, kami merasa tak pantas Untuk terus dimanjakan tapi kami juga tak ingin diabaikan. 

Hujan, saat kau tiba di tanah dan menempa Rumput kering. Pernahkah Rumput kering itu, mengeluh tentang perilaku manusia?. Adakah keinginannya Untuk meneriaki kami?. Aku tahu, Bahwa Rumput Kering Itu tahu Manusia juga bertanggung jawab apa yang terjadi padanya. Akibatnya, Rumput kering itu tak memberikan Nutrisi maksimal Untuk para Herbifora. Ketika Herbifoa tak tercukupi Nutrisinya maka kepuasan pemangsa sipemakan Daging Berkurang. Dan itu dapat kestabilan rantai makanan. Kemudian, mengganggu keseimbangan hidup.

Hujan. Kami harus mengakhiri Semuanya hal buruk yang kami lakukan ini. Sebelum Tuhan yang mengakhiri dan menutup buku Perjalanan hidup kami. Sebelum Tuhan benar-benar bosan dengan kami.

Hujan, aku rasa cukup Ceritaku kali ini, Sampai jumpa! Aku belajar banyak hal darimu. Terimakasih karena tidak bosan melakukan tugasmu.

Sabtu, 05 November 2016

HITAM

Hitam , kelam menyesakan dan tak berujung . Gemuruh dalam kegelapan menyeruakan kegelesihan dalam diri yang menguasai emosi dan memperkeruh otak yang merambat dan memburam kan pandangan kita yang menyebabkan tak terkendalinya perilaku.

Pada saat itu, teringat jelas di otakku Alam perlahan membentuk wajah.  wajah yang semakin lama terbentuk semakin membuatku takut. Tak ada senyum yang ia suguhkan untuk ku. Akupun beringsut mundur perlahan, aku mulai panik aku mulai gelisah dan ingin kabur. Sayangnya sebelum itu terjadi wajah itu telebih dahulu menyapaku;

“mau kemana?” 

Aku yang saat itu hanya seorang diri dengan gemetar menjawab “tidak kemana mana”

“Hitam!” Di berteriak kepadaku. Yang membuat lumpuh seluruh tulang ku bahkan aku tak bisa merasakan kaki ku.

“apa? Hitam? Siapa? Apa?” aku menjawab serabutan.

“Hitam! Hitam! Kalian manusia! Hitam! Hitam!” dia kembali berteriak terus berteriak sampai aku terjaga dari tidurku.

Mimpi? Ya benar! Itu memang mimpi? Tapi sangat nyata sangat nyata. Gumpalan awan hitam yang membentuk wajah itu sangat nyata.
Aku tertegun dan memandang ke luar Jendela kamarku, dan walaahhhhh! Disana dia disana!. Gumpalan awan hitam itu disana. Gumpalan awan itu semakin menyerukan tanda keberadaannnya.
Aku beringsut masuk menutup tirai kamarku,aku masih mengingat bagaimana dia menatapku tajam dan meneriakan hal yang aku tak mengerti. Aku masih sangat mengingatnya dengan jelas sangat jelas.


Tak lama setelahnya petir dengan lantangnya mewartakan kehadirannya . Semakin menambah cita rasa kegelisaan sore itu, hingga “pyaaaaarrrrr!!!”. Petir yang semula  Melambai dan hanya menari nari , akhirnya menyambar sebuah kabel di depan rumah milik tetangga.  Kemudian tetangga berlari keluar dengan tegopoh- gopoh.  Dia berteriak.

“Hitaaaammm!!!”

Saat mendengar kata kata itu aku langsung melonjak keluar rumah, apalagi ini? Apa lagi? Ada apa dengan Hitam. Aku hanya memperhatikan tetanggaku menceritakan kejadiannnya . Kegelisahan ku terangkan dalam ketakutan?  Apa yang sebenarnya aku alami ini? Mungkinkah ini suatu pertanda yang aku harus waspadai? 

Semakin aku berkelut dengan kegelisahanku semakin emosiku tak terbendung dan matakupun menjatuhkan air matanya. Memkasakan diri untuk berfikir jernih bukanlah hal yang mudah. Samar samar aku mulai mendengar suara yang khas di telingaku. Namun semakin jelas suara itu semakin aku tak percaya dengan apa yang aku dengar. Semakin jelas suaranya dan semakin terasa tidak mungkin bagiku. Suara itu adalah Suaraku. Iya, aku!

Ku tajamkan pandanganku yang sempat buram dengan airmata dan memang yang ku lihat adalah diriku sendiri dengan pakaian serba hitam yang sedang berdebat dengan diriku yang lain. Sulit untuk ku percaya apa yang aku lihat. Mulai ku fokuskan pendengaran ku terhadap apa yamg mereka bicarakan meskipun sulit untuk percaya itu.

“Hitam! Pergilah! Sudah waktunya kau pergi, biar aku yang pegang kendali. Tidak kah kau kasihan melihat dia dengan ketakutannya yang luar biasa terus menerus dan tak hentinya bergulat dengan emosinya?”

“Hahaha putih! Itu memang tugasku. Menanamkan ketakutan dan kegelisahan yang ada pada dirinya. Kau tak bisa mengusirku. Dialah yang bisa, jika dia ingin aku pergi maka aku akan pergi. Tapi aku tak kan membiarkannya mengusirku”

“ aku yang akan membuat dia mengusirmu Hitam! Aku yang akan membuat dia melawanmu!”

Kucermati percakapan mereka, hingga kusadari aku hanya menghadapi dirku sendiri, terteror dengan ketakutanku sendiri dan mencoba lari dari diriku sendiri. Hingga akhirnya ku beranikan diriku menghampiri mereka dan berteriak.

“ Pergi kau Hitam! Pergi! Jangan ganggu aku! Kau yang membuat hidupku tidak tenang dan penuh kegelisahan.”

“ tak akan bisa kau mengusirku dengan cara itu, itu semakin memperkuat pertahananku!”

Kemudia putih berkata pada ku,

“ dia adalah lambang kemarahan ketakutan dan kegelisahan mu. Jika kau melawannya dengan kemarahan tak akan membuatnya pergi dan akan terus membuatnya lebih kuat.”

Sejenak ku terdiam, berfikir dan kemudian ku ambil nafas yang panjang. Kutenangkan diriku, ku bayangkan sesuatu yang Indah dipikiranku. Ku tatap hitam lekat lekat. Kemudian dia menghilang. 

Kutersenyum dengan hati yang lega. Namun, tak lama kemudian, “Bruuukkkk!” ada yang memdorongku dan semuanya GELAP.

Samar samar ku mulai melihat cahaya saat kubuka mataku dan aku telah kembali berada di tempat tidurku. Langsung aku bangun kulihat jendela kamar, disana awan tak lagi menyeramkan dan hitam. Tapi putih dan bersinar terkena terpaan sinar matahari.